INDONESIATREN.COM - Di balik nama Jalan Selabintana di Sukabumi, ada kisah menarik dan menjadi bagian dari kisah heroik serangan Jepang terhadap armada Pasifik Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbor.
Selama bertahun-tahun, Selabintana telah dikenal sebagai tempat yang menghasilkan bunga dan sayur-sayuran di wilayah Sukabumi, Jawa Barat.
Dalam "Perjuangan Rakyat Sukabumi", yang dimuat dalam buku Seribu Wajah Wanita Pejuang dalam Kancah Revolusi '45, Mien Adi Hatmodjo, seorang veteran perang kemerdekaan, menyatakan bahwa di lembah gunung (Selabintana) ada kebun bunga yang terkenal dengan Edelweis-nya.
Melansir dari berbagai sumber, para pembesar dan orang kaya Hindia Belanda sering mengunjungi Selabintana untuk menikmati udara segar dan pemandangan indah. Mereka juga biasanya menginap di hotel-hotel terbaik, seperti Hotel Victoria atau Hotel Selabintana.
Baca juga: Cerita Dibalik Misteri Gunung Sunda dan Goa Lodaya di Sukabumi
Pada tahun 1940, rapat penting antara pemerintah Hindia Belanda dan Jepang juga diadakan di Hotel Selabintana yang sekarang dikenal sebagai Selabintana Conference Resort. Ekonomi kedua negara adalah topik utama rapat tersebut.
Hal ini juga terkait dengan berakhirnya perjanjian perdagangan Jepang-Amerika Serikat pada 26 Januari 1940.
Berakhirnya perjanjian itu mengakibatkan kekhawatiran Amerika Serikat akan mengembargo Jepang dan ekspor Amerika Serikat ke Jepang turun drastis.
Akibatnya, agar industrinya tetap berjalan, Jepang harus mencari negara lain yang dapat menawarkan sumber daya alam, terutama minyak.
Baca juga: Pondok Halimun, Tempat Wisata Berjuluk Kota Mati di Sukabumi
Hal itu kemudian ditindaklanjuti dengan menghubungi Belanda atau penguasa Hindia Belanda, untuk mendapatkan jaminan pasokan dan konsesi ekonomi tambahan.
Banyaknya bahan mentah yang didapat oleh Hindia Belanda, menjadi undangan perhatian bagi negara Jepang, karena industri dari negara matahari terbit ini membutuhkan banyak bahan mentah, termasuk yang notabene berasal dari Hindia.
Negeri kepulauan yang kaya itu sangat terletak dengan baik. Namun, dalam kesepakatan tripartit dengan Jerman dan Italia, Jepang harus memenuhi janjinya untuk menyediakan minyak jarak, karet, timah, dan rempah-rempah Hindia kepada Jerman.
Adanya perjanjian Jepang ke negara lain, Tokyo berkonsultasi kepada jenderalnya untuk berbicara langsung dengan Batavia sambil menghubungi Den Haag, dan Jepang menyatakan kepada pemerintah Hindia Belanda bahwa hubungannya dengan Belanda tidak ada kepastian.
Baca juga: Belum ke Sukabumi Jika Belum ke Selabintana: Ini Sejarah dan Asal-usul Namanya
Akibatnya, saat pendudukan Belanda oleh Jerman pada Mei 1940, Jepang menggunakan hubungan langsung dengan Hindia. Konsul jenderalnya di Batavia langsung meminta ekspor tiga belas komoditas penting dari Hindia ke Jepang terus dilakukan.
Jepang melanjutkan tuntutannya, dengan meminta lebih banyak kebebasan untuk memasuki perekonomian Hindia dan meminta sebuah konferensi diselenggarakan oleh pemerintah Hindia untuk membahas masalah ini.
Setelah beberapa kali ditolak, konferensi permintaan Jepang akhirnya dikabulkan Hindia. Namun, tuntutan delegasi Hindia diwakili langsung oleh Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh tetap ditolak.
Sementara itu, Jepang langsung menunjuk Jenderal Kuniaki Koiso untuk memimpin misi ke Batavia. Namun, karena Koiso dihina di Hindia, Tokyo menggantinya dengan Ichizo Kobayashi, menteri perdagangan dan industri yang menjadikan delegasi yang datang ke Batavia dikenal sebagai Misi Kobayashi.
Baca juga: Video Viral Ayah Aniaya Anak Kandung di Sukabumi, Kapolres: Pelaku Sudah Ditangkap!
Misi Kobayashi sendiri terdiri dari 24 teknisi, termasuk perwira dari tiga matra militer, dan tiba di Batavia menggunakan Kapal Nissho Maru pada 12 September 1940.
Sesampainya di Batavia, mereka disambut dengan upacara meriah oleh Menteri Ekonomi Hindia HJ Van Mook.
Pada akhirnya, kedua belah pihak berangkat ke Selabintana Sukabumi, tempat konferensi dimulai pada 16 September 1940.
"Delegasi Jepang dan Belanda tiba bersama-sama di Selabintana dekat Sukabumi," kenang Van Mook dalam The Netherlands, Indies, and Japan: Their Relations 1940-1941.
"Delegasi Jepang merasa seperti di rumah sendiri. Keindahan wilayah ini mengingatkan para diplomat akan dataran tinggi menuju Gunung Fuji di Jepang," kata Robert Stinnett dalam Day of Deceit: The Truth About FDR and Pearl Harbor.
Jepang tidak langsung berbicara tentang inti perundingan saat pertemuan itu. Sebaliknya, mereka lebih dulu menjelaskan rencana Lingkaran Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Jepang ingin Hindia, yang telah keluar dari pemerintahan pengasingan Belanda di London, bergabung dengan rencana itu dan bekerja sama penuh dengannya.
Jepang baru masuk ke dalam diskusi dengan meminta peningkatan pasokan minyak Hindia dari 600 ribu ton menjadi 3.150.000 ton per tahun, setelah Hindia tidak menanggapinya dengan baik.
Jepang mengusulkan bahwa kuota sebesar itu dijamin selama lima tahun. Selain itu, mereka mendesak Hindia untuk melonggarkan kebijakan ekonominya terhadap Jepang.
Selain ingin memperoleh konsesi, mereka juga ingin mendapatkan informasi tentang sumur-sumur minyak Hindia dengan memberi mereka akses riset, dan Van Mook tidak bisa mengabulkan banyaknya tuntutan itu.
"Kunjungan ke sumur dan kilang minyak hanya dapat diberikan oleh masing-masing pemilik perusahaan. Pemerintah tidak memiliki kekuasaan untuk memberikan hak seperti itu kepada pihak ketiga," kata Van Mook seperti ditulis M Abdul Aziz dalam Japan's Colonialism and Indonesia.
Perundingan tertunda karena masing-masing pihak tidak setuju dengan pendiriannya. Akhirnya, delegasi kedua kembali bertemu pada 16 Oktober. Namun, perundingan terus berlangsung dengan alot, dan Kobayashi dan Van Mook tetap pada pendiriannya.
Selanjutnya, Jepang menuduh pemerintah Hindia sebagai anjing Amerika Serikat yang selalu mengikuti perintah Washington.
"Menteri HJ van Mook menegur Kobayashi dan melabeli permintaan minyak itu tidak masuk akal. Selain itu, katanya, peran pemerintah Belanda hanya pengawas. Perusahaan-perusahaan minyak Belanda yang mengendalikan penuh produksi dan penjualan produk-produk minyak, bukan pemerintah," tulis Stinnett.
Akhirnya, Jepang harus menyetujui komunikasi bersama dengan Hindia yang lebih ditentukan. Saat itu, Jepang merasa perlu menghilangkan keraguan Hindia tentang maksud sebenarnya, menunda penggunaan senjata api atas Hindia, dan yang paling penting, memastikan bahwa aliran bahan mentah terus mengalir dari Hindia.
Tidak hanya untuk mempercepat persiapan perang, tetapi juga untuk menyediakan Jerman, rekan dalam pakta tripartit, dengan bahan penting untuk Perang Eropa.
Kisah ini berpusat pada serangan Jepang ke Pearl Harbor pada 7 Desember 1941, yang menewaskan lebih dari 2000 orang.(*)