INDONESIATREN - Semakin menggaungnya agenda emisi rendah karbon alias Net Zero Emision (NZE), yang dicanangkan pemerintah terealisasi pada 2060, membuat korporasi-korporasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) agresif mengembangkan inovasi yang bersifat go green.
Adalah PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) (Persero) yang menunjukkan keseriusannya untuk terus berinovasi ramah lingkungan.
Terbaru, melalui anak usahanya, PT PLN Energi Primer Indonesia (EPI), PT PLN (Persero) menyiapkan jurus baru untuk mengakselerasi tercapainya NZE 2060.
Caranya, PT PLN (Persero) mengembangkan sistem teknologi canggih. Yaitu The Coal Blending Facility (CBF) alias teknologi fasilitas pencampuran batu bara.
Baca juga: Kereta Cepat Whoosh Menggila, Volume Penumpangnya Melebihi 350 Ribu Orang
Teknologi itu sebagai strategi PT PLN agar kesinambungan pasokan energi bagi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang bersumber energi pada batu bara kalori tinggi, secara tetap terjamin.
Kepada para jurnalis, Mamit Setiawan, Corporate Secretary PT PLN EPI, menjelaskan, skema CBF merupakan bisnis baru untuk memproduksi batu bara sesuai kebutuhan pasar.
Uji coba teknologi CBF, lanjut dia, pihaknya gulirkan di Cilegon, Banten. Berdasarkan uji coba PT Sucofindo (Persero), tuturnya, pihaknya mengklaim, CBF adalah teknologi paling strategis.
Melalui sistem itu, lanjutnya, pasokan batu bara bagi PLTU terjami. Selain itu, sambungnya, pola CBF pun lebih mengefisienkan operasional PLTU.
Baca juga: Tempat Wisata Unik dan Gratis, Danau Bacan Cocok untuk Dikunjungi di Daerah Sukabumi
Pada sisi lain, Mamit Setiawan, menambahkan, saat ini, kebutuhan batu bara PLTU Jawa 7 sebesar 4.800 kalori. Dia menegaskan, pemenuhan kebutuhan PLTU Jawa 7 tidak mudah apabila mengandalkan pasar domestik.
"Jadi, melalui CBF, sumber batu bara berkadar 3.800 kalori atau pada level The :Low Rank Ccoal, apabila melalui proses blending bersistem High Rank Ccoal berkalori 5.800, kadarnya bisa bertambah sesuai kebutuhan," paparnya.
Pendistribusiannya pada PLTU Jawa 7 pun, ucapnya, lebih efisien, sekitar delapan jam. Karenanya, terang dia, adanya efsiensi-efisiensi itu, sistem CBF menghemat biaya Rp 27 miliar. (*)