INDONESIATREN - Kehadiran FInancial Technology (Fintech) Peer to Peer (P2P) Lending alias pembiayaan berskema pinjaman online (pinjol) memang bisa membantu masyarakat yang memerlukan dana secara cepat.
Walau demikian, kemudahan pembiayaan oleh pinjol bukan berarti tanpa risiko. Misalnya, gagal bayar atau gagal pelunasan.
Agar tidak terjerat utang pinjol, masyarakat wajib bijak saat memanfaatkan pembiayaan pinjol. Misalnya, pemanfaatannya pada sektor produktif.
Selain itu, setiap debitur wajib paham bahwa angsuran pembiayaan pinjol maksimal 30 persen penghasilan.
Baca juga: Saham BRI Semakin Berkilau, Melejit 65 Kali Selama Dua Dekade Terakhir
Pasalnya, suku bunga yang lebih besar plus jangka waktu pelunasan yang lebih cepat bisa menjadi persoalan. finansial.
Lalu, apa risikonya seandainya pembayaran angsuran debitur tertunda atau bahkan gagal bayar?
Identitas debitur yang pembayaran angsurannya tertunda atau bahkan gagal bayar tercatat dalam daftar hitam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Apabila itu terjadi, seorang debitur sangat sulit, bahkan tidak bisa lagi memperoleh pembiayaan lembaga keuangan mana pun, termasuk perbankan.
Baca juga: Ini yang Jadi Dasar Keyakinan Bank Indonesia Soal Ekonomi Jabar
Risiko berikutnya yakni adanya denda dan bunga yang terus bertambah. Nilai denda bisa mencapai 100 persen nominal pokok pinjaman. Angka itu belum termasuk bunga kumulatif, yang besarnya maksimal 0,4 persen per hari.
Persoalan beriikutnya yakni adanya penagihan oleh Debt Collector, yang berpotensi meresahkan dan mengganggu.
Misalnya, apabila belum sanggup membayar angsuran, Debt Collector tidak sungkan mengunjungi kediaman debitur. Bahkan, Debt Collector pun menghubungi nomor kontak orang terdekat debitur.
Jadi, bersikap bijaklah apabila mengajukan pembiayaan melalui Fintech P2P Lending. (*)