INDONESIATREN.COM - Prediksi terjadinya Badai Matahari akan terjadi pada akhir 2023 dan disebut sebagai fenomena terkuat sejak 2017 silam.
Peristiwa Badai Matahari ini harus dipahami oleh masyarakat Indonesia. Fenomena ini diprediksi akan terjadi pada awal 2025.
Dilansir dari SVS NASA, mengumumkan bahwa fenomena Badai Matahari ini akhirnya maju pada akhir 2023 ini.
Fenomena ini tentunya memiliki dampak yang berbahaya bagi Bumi meskipun akan menghadirkan fenomena langit yang indah yakni aurora.
Baca juga: Prabowo Tak Mau Jadi Politisi Omdo yang Tak Bisa Tepati Janji: Saya Taruh Hitam di Atas Putih
Meningkatnya aktivitas matahari menimbulkan berbagai risiko bagi satelit, pesawat ruang angkasa dan bahkan astronot yang berjalan di luar angkasa karena paparan tinggi radiasi.
Tak hanya pada aktivitas luar angkasa, Badai Matahari juga menimbulkan risiko bagi Bumi karena akan memicu geomagnetik besar sehingga mengganggu komunikasi frekuensi yang tinggi.
Badai Matahari terjadi ketika letusan magnet berskala besar yang menyebabkan partikel-partikel dipandu ke garis medan magnet dan menembus atmosfer dekat kutub utara dan selatan magnetosfer.
Lalu apa dampaknya untuk Bumi khususnya masyarakat Indonesia? Atmosfer Bumi yang mencegah radiasi berbahaya dari Matahari. Namun, radiasi itu akan mempengaruhi aktivitas di bumi.
Baca juga: Menkes Budi Gunardi Ungkap Ada 4 Strategi untuk Hadapi Pandemi Covid-19, Apa Saja?
Perubahan ionosfer selama badai geomagnetik mengganggu komunikasi radio frekuensi tinggi dan navigasi Global Positioning System (GPS) dan pemadaman listrik besar-besaran.
Pihak Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan untuk masyarakat tidak perlu khawatir akan dampak yang didapatkan Indonesia dari Badai Matahari tidak akan mengalami risiko tinggi karena letak Indonesia berada di khatulistiwa.
Sederhananya, beberapa dekade telah terjadi Badai Matahari bahkan yang paling parah memiliki efek atau dampak yang relatif tenang.
Meski kemungkinan ada pemadaman listrik meluas dan mengkhawatirkan namun tidak mungkin terjadi, cuaca luar angkasa cenderung tidak mempengaruhi perangkat elektronik sehari-hari.
Fenomena lebih mungkin terjadi di wilayah yang lebih tinggi karena atmosfer lebih tipis memberikan lebih sedikit perlindungan terhadap partikel yang masuk. (*)